.dateHeader/>

Pesan Akhir Tahun


(credit: unsplash)

Aku kira kita akan bahagia bersama, ternyata kita hanya berbagi luka bersama. Kita ada karena hati butuh tempat untuk bersandar, butuh tempat untuk mendengar keluh kesahnya. Hati kita sebelumnya pernah sama-sama terluka, dan perlahan terobati oleh hadirnya kedekatan di antara kita. Aku kira kita benar, jika harus terus bersama, ternyata kita hanya melukai perasaan masing-masing. Tidak ada yang lebih buruk dari ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Aku terbunuh oleh kalimat perpisahanmu, aku mati dengan cinta yang terus mengalir untukmu.

Setelah itu, aku hidup lagi, sebagai orang yang sama, namun dengan rindu yang berbeda. Rindu yang tak jelas siapa pemiliknya, sebab pemiliknya yang dulu, telah jatuh ke pelukan orang yang dianggapnya lebih baik. Aku hanya raga tanpa jiwa, aku pergi perlahan menjauhi duniaku yang dulu hanya berisikan tentangmu. Aku mencari apa yang membuatku bisa kembali terbiasa tanpamu, bukan mencari orang yang bisa menggantikanmu.

Aku tak mau mengecewakan siapapun lagi, termasuk diriku sendiri. Aku terlalu bodoh, aku kira tahun ini adalah tahun kita, ternyata ini adalah tahunku tanpa dirimu. Tak ada lagi cerita tentang keseharianmu, tak ada lagi cerita tentang apa yang membuatmu kesal tadi pagi, tak ada lagi yang ingin memelukku di hadapan senja yang sedang indah-indahnya. 

Dulu kita memiliki banyak pertanyaan-pertanyaan konyol dalam benak kita. Kita berpikir bersama mencari jawaban atas pertanyaan kita. Sekarang, aku menemukan banyak jawaban untuk pertanyaan kita dulu, tapi aku tahu kamu tidak mempedulikan itu lagi. Saat itu, kita asyik memikirkan tentang apa yang akan kita lakukan di hari esok, rencana-rencana yang terlihat mustahil namun ingin kita raih. Semua berbeda sekarang, kini kita terlalu sibuk, bukan sibuk menggapainya, namun sibuk menguburnya dalam-dalam. 

Akhir tahun lalu, kita masih saling berbicara, akhir tahun ini, kita tidak bisa lagi saling menyapa. Entah karena kamu terlalu membenciku, atau karena memang dunia kita bukan bertemu dalam orbit yang sama. Aku punya banyak mimpi, aku punya banyak rindu buatmu. Rinduku yang dulu selalu aku ucapkan, aku titip padamu, ya. Tidak usah kamu jaga, tidak usah kamu pedulikan. Biarkan saja dia menjagamu, biarkan saja dia pergi dengan sendirinya. Semua pujian puisi yang pernah aku berikan padamu, itu bukan kebohongan, sebab kebohongan terbesarku, adalah mengikhlaskanmu.

.dateHeader/>

Tidak Ada Senja Hari Ini


(credit: unsplash)

Kita sering menghabiskan waktu di hadapan laut untuk menyaksikan senja yang perlahan hilang dimakan gelapnya malam. Aku begitu memuja senja, memujamu sebagai senja di hidupku. Wajahmu adalah candu yang semesta ciptakan untuk aku kagumi. Senyummu adalah permata yang Tuhan ciptakan untuk aku nikmati.

Kita duduk berdua, sebagai dua orang yang tak berani menyampaikan rasa, sebagai dua orang yang gemar menikmati senja. Pantai dan pasir putihnya membuatku mengingatmu, seorang gadis yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Kamu meninggalkanku dengan deburan ombak yang sama, dengan butiran pasir yang sama, namun dengan perasaan yang berbeda.

Kamu meninggalkanku dengan rasa rindu yang sama sekali tak mampu aku bunuh. Rindu ini tak mau pergi sampai ia menemui pemiliknya. Aku kadang datang ke pantai sendirian, mungkin saja kamu sedang menatap senja sendirian. Namun aku salah, tidak ada senja hari ini. Ia pergi bersamaan dengan kepergianmu sore itu. Hari paling lama dalam hidupku, waktu terus berdetik, namun jantungku seolah tak berdetak.

Aku tidak memaksamu untuk kembali, aku hanya berharap kamu akan kembali. Jika kepergianmu adalah kebahagiaan yang kamu inginkan, tinggalkan saja aku, aku akan berusaha menjadi baik-baik saja. Pergilah dengan petunjuk, pergilah dengan meninggalkan jejak. Jika kamu tersesat dan ingin kembali, maka kamu tak akan kesulitan. Jika aku rindu dan ingin bertemu, maka aku bisa dengan mudah mencarimu.

Biarkan rindu ini tetap tinggal bersamaku, aku tak tega membunuhnya. Rinduku ini milikmu, hatiku juga. Bawalah, kemanapun kamu melangkah. Pulanglah, jika semesta menakdirkanku sebagai rumah yang akan kamu tuju pada akhir perjalananmu. Hati-hati ya, sayang. Maaf, tak sepantasnya aku menyebutmu sayang, aku terlalu bodoh buatmu. Tersenyumlah, buat mentari dan rembulan tetap cemburu akan kecantikanmu itu, ya.

.dateHeader/>

Tidak Ada Hujan Hari Ini



(credit: unsplash)


Langit dan matahari terlihat selalu bersama, mungkin mereka tidak tahu bagaimana mereka dipersatukan, atau untuk apa mereka dipertemukan. Seperti halnya kita, yang tetap mencoba bersama meski semuanya pasti akan berujung pada perpisahan. Pipimu masih menggemaskan, itu sebuah candu buatku. Meski sekarang tak ada kecupan lagi untuk pipimu dariku, setidaknya matahari masih setia mengecup kedua pipimu itu. 

Kamu beruntung, matahari masih menjagamu dari dinginnya rindu. Matahari hanya perangsang rindu untuk datang menghampiriku. Rintik-rintik hujan sebentar lagi akan turun dari langit abu-abu. Tiba-tiba saja hujan dengan derasnya menghantam bumi, apa ia tidak merasakan sakitnya jatuh seperti itu?

Atau ia sudah terbiasa?

Entahlah, aku malu dengan hujan yang tak pernah mengeluh ketika dibuat jatuh oleh langit.

Senyummu mulai terlihat dengan samar ketika rintik hujan pertama mengenai daun di pekarangan rumahku. Aku membuka pintu, dan berusaha meyakinkan pandanganku. Ternyata benar, aku salah, pikiranku terlalu merindukanmu. Kamu terus datang menghampiriku, namun dalam bentuk sebuah bayang. Aku terus berbicara pada hujan, aku menyampaikan segala yang sedang kurasakan. Semoga, hujan menemani malammu, menyanyikan sebuah lagu penghantar tidur dan memelukmu seperti yang aku lakukan dulu.

Hujan terus datang setiap hari, seperti menanyakan bagaimana hariku tanpa hadirmu. Semua yang aku rasakan selalu aku ceritakan pada hujan. Meskipun ia tak sepenuhnya mendengarkan, aku tak masalah, setidaknya rinduku tak hanya ku tahan. Setelah hujan reda, aku selalu menanti hadirnya pelangi yang katanya indah itu. Namun sama sekali tak pernah muncul, aku tersadar, jika matahari yang harusnya membiaskan cahaya sudah pergi. Kamu, matahari dalam hidupku sudah tak bersamaku lagi. Aku, ingin sekali saja, untuk terakhir kalinya menemuimu, dan menyentuhmu hingga aku terbakar. Tak apa jika aku mati, perasaanku juga sudah mati sesaat setelah kamu mengucapkan selamat tinggal yang tak pernah kuinginkan itu.


Aku menanti hingga larut malam, namun tidak ada hujan hari ini. Ke mana perginya hujan yang biasanya? Apakah ia lelah mendengar segala keluhku yang tidak berubah itu setiap hari? Atau hujan mulai sadar kalau ia terlalu sering dijatuhkan oleh  langit? Entah, aku mulai kesepian lagi dibuatnya. Begitukah caranya ia pergi? Tanpa sedikit pun mengatakan selamat tinggal, sama sepertimu. Hanya pergi tanpa mengatakan selamat tinggal termanismu. Maaf telah membuatmu jatuh, aku tak bermaksud seperti itu. Sepertinya hujan sudah tak mau menemuiku lagi, sama sepertimu. Semoga, setidaknya segala rindu yang aku titipkan sudah tersampaikan kepadamu ya. Semoga.

.dateHeader/>

Sungguh Sedang Rindu

(credit: unsplash)

Tetes rintik rindu yang datang bersama jatuhnya hujan, semua tentangmu kini kembali datang dalam ingatan. Memang aku tak pernah berusaha melupakanmu, aku hanya menjaga hatiku agar tidak larut dalam kepergianmu. Matahari berhenti menyinari, hanya kelabunya mendung yang dapat aku pandang. Seperti hatiku yang kau tinggal setelah beberapa lama kau tinggali. 

Malam ini, malam yang paling sepi, aku tengah duduk sendiri. Tidak ada satu pun kata yang bisa aku ucapkan kecuali, aku rindu kamu, sungguh. Aku tidak bercanda. Ke mana kah perginya mata indah yang selalu meneduhkan hatiku ketika ku menatapnya? Ke mana kah perginya pundak yang menopangku ketika aku tidak bersemangat? Ke manakah perginya bibir yang selalu mengatakan aku cinta kamu? Entahlah, tidak akan pernah aku temukan jawaban dalam kesendirian ini.

Hujan terus berjatuhan tanpa peduli berapa banyak kenangan yang ikut jatuh bersamanya. Dinginnya udara luar, aku merindukan hangatnya pelukmu. Hatiku kembali terisi dengan hal-hal indah yang pernah kita jalani. Seandainya hari itu tidak pernah terjadi, pasti kita masih bersama hingga saat ini. Tidak ada lagi kita yang berjalan sambil bergenggaman tangan, tidak ada lagi kita yang duduk bersandar ketika di dalam bioskop. Tidak ada lagi kita, tidak pernah ada lagi.

Kini aku hanya terus mengingatmu, tanpa sekalipun berusaha melupakanmu. Sebab, yang aku tahu, melupakanmu adalah cara mengundang kenangan datang dengan membabi buta. Melupakanmu hanya membuatku kembali berada pada titik terjatuhku. Aku sudah jatuh begitu dalam, aku tak ingin jatuh kembali, kecuali jatuh ke pelukanmu. Sayangnya, aku hanya bisa bermimpi. Bermimpi tentang perempuan yang menjadi sosok dalam tulisan ini. Jika kamu membacanya, ketahuilah aku masih mencintaimu. Sungguh.

.dateHeader/>

Pergi Tidak Kembali


(credit: unsplash)

Di tepi rasa yang masih bertahan, di bawah teriknya penyesalan yang terus menyinari, aku tetap mencintaimu. Bukannya aku bodoh, tapi yang aku tahu tugasku hanyalah mencintaimu. Urusan kamu tetap mencintaiku atau tidak, itu terserahmu. Aku tidak ikut campur, kamu punya hak sendiri untuk menentukan siapa yang harusnya kamu cintai. Meskipun kini lenganku tidak bisa merangkulmu, tapi hatiku, sampai kapan pun akan terus merangkulmu.

Mungkin semua pertemuan akan menghasilkan perpisahan, dan semua perpisahan akan menghasilkan luka. Aku mengganggap luka bukanlah yang buruk, sebab luka adalah sebuah benih untuk kita memulai lembaran baru. Aku masih menyimpan bunga yang pernah kamu berikan kepadaku, dan bunga itu sudah mati, layaknya hubungan kita saat ini. Aku menyaksikanmu, bersama awan kelabu yang terus mengiringi perjalananmu. Aku melihatmu pergi, dan perlahan menghilang dari ujung tatapanku.

Hariku terasa berbeda, meski semuanya terlihat biasa saja, namun hatiku tidak bisa bersikap baik-baik saja. Daun-daun kebahagiaan berguguran diterpa angin kesedihan, ranting-ranting cinta terbakar teriknya kepergian. Sebelumnya, ketika ragamu masih ada di pelukanku, hari-hariku begitu penuh warna, namun, setelah kepergianmu hidupku hanya terlihat hitam dan putih. Mungkin aku terlalu egois, mencintaimu begitu dalam meski aku tak tahu seberapa dalam cintamu itu. 

Aku sudah membahagiakanmu dengan cara yang salah. Aku terlalu percaya diri, sehingga hanya membuatmu sakit hati. Aku kira, aku yang paling bisa, ternyata aku hanya orang yang tidak mengerti cinta. Aku kira, kita adalah jawaban dari semua doa-doaku, ternyata kita hanyalah pelajaran baru untuk hidupku. Aku rasa memang aku tak pantas untukmu, untuk seorang bidadari sepertimu. Kelak, akan ada yang benar-benar memahamimu, akan ada yang tahu cara membahagiakanmu, dan yang aku takutkan, itu bukan aku.

.dateHeader/>

Representasi Imajinasi


(Credit: unsplash)

Di bawah langit abu-abu yang tak bertuan, ada sebuah hati yang berjalan tak karuan. Seolah-olah sedang pergi dan mencari apa yang bisa ia sayangi. Entah hati siapa itu, yang aku tahu, hatiku sedang tidak ada pada tempatnya. Aku melihat jam terus berjalan maju, hari terus berganti, dan aku terus merindukanmu. Mungkin rindu ini adalah hal yang akan terus berpihak kepadaku. Menjadi sebuah oksigen dalam kehidupanku. 

Dalam sebuah perjalan panjang, ketika aku menemukanmu, aku merasa jika aku telah menemukan duniaku. Aku telah menemukan di mana aku akan tinggal selamanya. Namun nyatanya, aku hanya singgah sementara. Bukan sebab aku yang ingin pergi, tapi pemilik hati itu yang memintaku untuk kembali berlari. Aku cukup tenang saat lelap di pelukanmu. Aku cukup nyaman saat bersandar di pundakmu. Iya, semua itu cukup, tepatnya cukup singkat.

Setelah ini, kakiku tak tahu bagaimana harus berpijak di duniaku yang tidak bersamamu lagi? Bagaimana aku bisa bernafas jika separuh nafasku kini sudah bukan milikku lagi? Entahlah, yang aku tahu kini dalam diriku sudah mati. Terutama setelah sebuah kalimat perpisahan terakhir darimu yang masih aku ingat. Setalah aku mendengar itu, aku tahu jika Tuhan menyadarkanmu bahwa aku bukanlah pria yang tepat untukmu. Aku mungkin tidak baik, namun aku sudah berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Jika aku bisa menemuimu sekali lagi, maka izinknlah aku meminta maaf untuk kebodohanku selama ini. Maaf jika aku jatuh cinta kepadamu, dan maaf untuk membuat hatimu yang baru sembuh itu kecewa kembali.

Setelah ini, izinkan aku tetap menjadi pria seperti yang kamu kenal dulu. Aku masih orang yang sama jika kamu suatu saat nanti kembali menemui aku. Aku tidak pernah berubah, bahkan perasaanku tidak akan pernah berubah. Yang berubah hanya status kita, yang berubah hanya keadaan kita, dan yang berubah hanyalah sebutan kita satu sama lainnya. Sekali lagi, aku ingin berterimakasih pada semesta, sebab telah membuatku tersesat di sebuah hati dan aku tak pernah bisa keluar dari sana.

.dateHeader/>

Semua yang Dulu


(credit: unsplash)

Aku memiliki banyak cerita yang berlatarkan pantai, atau mungkin hampir semua cerita tentangmu dan kita adalah berlatar pantai. Matahari sudah menjadi teman dekat kita di sana, kita tidak pernah mengeluh jika matahari membuat kening kita dipenuhi bulir keringat. Sebab, yang kita suka adalah bagaimana pantai membuat kita sebegitu dekat. Banyak kenangan kita yang telah menyatu bersama pasir, terkikis ombak dan entah bagaimana akhirnya. Banyak orang juga menikmati panorama indah di depan kita, namun sebagiannya hanya datang untuk publikasi tanpa sedikitpun menikmati. Aku bingung, ketika dihadapkan dengan keindahan alam dan ciptaan Tuhan paling indah. Entah yang mana harus aku kagumi terlebih dulu, yang pasti aku lebih mencintai kamu.

Aku rindu saat kita duduk berdua, menatap ke arah senja, dan berbagi tentang apa yang kita rasa. Aku menyayangimu begitu dalam, sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi baik-baik saja ketika kamu meninggalkanku. Di tepi ingatan yang masih membekas, segala hal yang kita lakukan masih begitu membayang. Segala tangkapan gambar dalam galeri ponselku masih menetap, bukan perkara gambar yang ada di sana, namun seberapa dalam kenangan yang pernah tercipta di dalamnya. Bukan kenangan namanya jika tidak berhasil membuat rindu, meskipun sedikit, pasti akan terasa rindu. Terkadang, rindu tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Oleh sebab itu, banyak rindu yang tak bertuan, banyak rindu yang tak tahu ke mana harus menuju.

Aku masih begitu merindukanmu, apakah kita mungkin bisa bertemu? Atau waktumu sudah tidak sudi lagi untuk menemuiku? Entahlah, hanya itu yang aku tak tahu jawabannya. Semua waktu-waktu yang dulu telah terisi oleh kenangan kita, kini hanya dapat dinikmati sendiri. Sebelum kita menjadi benar-benar asing, ingatlah jika kita pernah terikat dalam sebuah kata sayang. Mungkin kamu tidak akan peduli lagi tentang apa yang pernah kita genggam, tidak masalah. Aku harap, aku punya mesin waktu, untuk memperbaiki apa yang menjadi salah di masa dulu.