.dateHeader/>

Menikmati Semua Kepergian





Ada suatu saat di mana aku tak ingin memikirkanmu lagi, tapi entah mengapa hati ini tetap saja ingin mencarimu. Aku bertanya dalam doa, apakah kau tak ingin datang sekali lagi untuk memberikan perekat bagi hati yang telah hancur ini. Aku tak ingin kau datang kembali untuk aku cintai, aku hanya ingin mengucapkan kata perpisahan. Sekarang aku sudah ikhlas melihatmu pergi bersama kebahagiaanmu. Aku tak ingin kau pergi, aku ingin kau tinggal dan terus menjadi guru terbaik dalam hidupku. Kau kini adalah bagian dari pengalaman terbaik dalam hidupku. Kau tak memberiku banyak kasih sayang, kau lebih banyak memberikan aku tanda tanya. Tanda tanya besar apakah kau orang yang selama ini ditakdirkan untuk bersamaku.

Dulu ada sepasang hati yang saling mencinta, ada dua pasang tangan yang saling menggenggam dan ada sepasang jiwa yang saling menjaga. Namun sekarang semua itu hanya berbentuk sebuah bayangan. Yang masih menghantui pikiran dan tak pernah bisa hilang. Aku ingin kabur dari segala bayang-bayang kenangan, agar ketika aku berhasil aku bisa memulai semua dari awal lagi. Tanpa tersisa sepotong pun kenangan dari masa yang telah berlalu. Hatiku terus mencintai meski hanya seorang diri. Tanganku terus menggenggam meski hanya sakit yang digenggam. Jiwaku terus menjaga meski sepi yang kini aku jaga. Aku terus teringat apa yang pernah kita lakukan dulu, aku mengingatnya siang dan malam tanpa pernah absen sekalipun. Tapi aku yakin, yang aku lakukan hanyalah sebuah awal untuk melupakanmu. Karena jika aku terus memikirkanmu sekarang, maka nanti aku tidak akan pernah memikirkanmu lagi seterusnya.

Aku pernah lari, lari sejauh yang aku bisa. Aku selalu ingin terus berlari dan berlari, namun kini aku sadar ada satu hal yang aku tak bisa, yaitu lari untuk menghindari masa lalu. Karena semakin aku berlari semakin masa lalu itu mengejar. Akhirnya aku tahu, aku harus berhenti dan belajar menerima segala yang telah terjadi di masa lalu. Maka dengan itu akhirnya aku menjadi ikhlas dan terbebas dari bayang-bayang masa lalu yang dulu selalu menghampiri.

Hidupku sekarang seperti telur yang dimasak tanpa garam. Tentu dapat dinikmati dan dijalani, namun terasa hambar. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang. Namun hidup memiliki banyak perspektif. Sekarang kita hanya melihat dari sudut pandang yang kita nikmati. Padahal, hidup akan terasa berbeda jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda pula. Jika kau melihat bahwa hidup ini tidak adil, hidup ini hanyalah tentang patah hati yang ditaburi kebahagiaan sebelumnya. Coba geser sedikit, lihat dengan sudut pandang bahwa apa yang telah menyakiti kita adalah orang-orang yang berniat baik untuk menjadikan kita orang yang kuat, menjadikan kita orang yang tidak takut akan kegagalan. Apa yang baru saja berakhir adalah awal yang sudah siap untuk kau jalani. Semakin sering kita mencoba maka semakin hebat kita kedepannya. Semakin dekat kita dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena tanpa usaha meski ada doa, itu tidak akan berarti apa-apa. Kau datang dengan dengan sebuah senyum manis dan pergi dengan menyisakan seribu tetes air mata yang jatuh. Kau datang dan membuatku percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada. Dan kau juga yang membuatku percaya bahwa cinta akan melahirkan luka disetiap kita menjalaninya. Aku kira akulah yang kau anggap sebagai rumah, yang akan kau datangi ketika kau sudah merasa lelah, tempat yang akan kau datangi ketika malam mulai datang dan tempat yang akan kau rindukan ketika kau pergi jauh mencari arti kehidupan. Ternyata aku salah; aku hanyalah tempat dimana kau singgah untuk sementara. Tempat untuk kau berteduh dikala hatimu mendung dan terjadi hujan di matamu. Tempat kau berlindung saat panasnya cemburu tak bisa kau tahan. Tempat kau beristirahat dan menikmati secangkir pelukan yang akan selalu aku beri.


photo credit: Robert Cheaib - Theologhia.com Lost train via photopin (license)

.dateHeader/>

Hubungan Sebab Akibat

 
 
 
Setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan, karena pertemuan adalah perpisahan yang sudah ditakdirkan. Ketika kita sudah terlanjur bertemu dan saling mengenal, maka bersiaplah dengan kata perpisahan. Jika sudah berani memberi, maka harus siap menerima. Seperti aku, berani memberi cinta dan siap menerima sakit hati yang telah terus kau berikan kini. Sakit hati terberat bukan saat kau meninggalkanku, tapi saat kita harus berpisah tanpa sempat mencicipi indahnya hidup bersama sebagai sepasang kekasih.

Yang aku tahu bahwa apa yang kita beri maka itulah yang akan kita dapat. Namun mengapa itu tidak terjadi padaku? Karena segala yang ku beri adalah cinta tapi yang aku dapat hanyalah patah hati dan penyesalan. Bukan menyesal karena telah memulai mencintaimu, namun aku menyesal tidak berani menyatakannya kepadamu. Kini semua telah terlambat. Yang bisa aku lakukan hanyalah duduk dan menyaksikanmu dengan orang yang seharusnya bisa saja itu diriku.

Lidahku kelu saat tahu dirimu kini bersama pria itu, seseorang yang kau kenal tidak lebih lama dariku. Telingaku tersumbat, saat salah seorang teman berteriak menyorakkan nama pria itu. Marah memang, namun hanya dalam hening. Sedih memang, namun hanya dalam sakit. Apa gunanya menunjukkan amarahku jika kau saja tak menghiraukanku. Aku ibarat seonggok sampah di sudut jalanan ibukota. Tak berdaya dan terombang-ambing mengikuti arah mata angin. Hanya dibuang sembarangan tanpa perasaan.

Mataku kehilangan sosok yang paling menawan. Mataku Indra penglihat ini tak ada gunanya lagi, karena bukan wajahmu lagi yang kini aku lihat. Apa gunanya mataku lagi jika yang kulihat hanya tanganmu yang digenggam erat oleh pria itu? Apa gunanya mataku jika hanya dipergunakan untuk melihat kebahagianmu bersama pria itu? Apagunanya lagi mata ini di dunia jika yang aku lihat hanyalah kecemburuan. Bukannya aku tak bahagia melihat kau bahagia, hanya saja aku tak senaif itu. Hatiku kini ibarat gelas kaca yang sedang mencium permukaan tanah.

Remuk dan pecah.

Apa mungkin bisa kembali ke bentuk semula?

Ataukah serpihan hati ini akan terbang bersama partikel debu di udara. Menyatu dengan oksigen yang kita hirup. Separuh hatiku kini dalam tubuhmu. Sementara memang, karena tak lama kau akan hembuskan residu hatiku bersama kebahagiaan yang dulu pernah kita ciptakan bersama. Hembusan napas mu terasa hangat saat pertama kali kita bertukar obrolan, tapi kini napasmu pun sama sekali tak bisa aku dengar dan rasakan. Dingin, seperti berada di puncak gunung Himalaya. Itulah sifatmu. Beku, seperti air yang berada pada suhu nol derajat celcius. itulah hatimu tak bisa dicairkan, apakah harus dibakar api cemburu terlebih dahulu?

Oh iya aku lupa.

Cemburu? Untuk apa kau cemburu, perasaanmu memang bukan untukku. Inginmu memang bukanlah aku. Akulah yang selalu terbakar panasnya api cemburu. Apa inikah efek rumah kaca? Bukan, ini efek hati yang pecah dan membuat berkaca-kaca. Pemanasan global hanya istilah umum dalam era kini, namun bukan hanya bumi yang kian memanas, tapi perasaanku juga. Entah harus tetap mencintaimu dalam diam dan berharap dalam hening atau mencoba melepaskan diri dari belenggu fatamorgana cinta ini. Otakku terlalu lelah untuk berpikir lagi, karena otakku sudah penuh dengan bayangan wajahmu. Jangan paksa aku melupakanmu, otakku kini terlalu jenuh.

.dateHeader/>

Mencintai Dalam Bercanda


Perkenalan yang terjadi begitu saja sampa-sampai kita hanya bertegur sapa saat itu saja dan bungkam selanjutnya. Hanya sepasang teman dalam lingkungan pertemanan yang sangat biasa. Berbincang saat dibutuhkan dan hanyai sedikit bergurau. Entah berapa lama kita menjalaninya dalam diam. Aku tak pernah berpikir tentang rasa dan cinta. Sampai tiba saatnya kita semakin sering bertegur sapa. Semakin sering kita bertukar tawa dan canda.

Awalnya tak pernah terlintas di hati untuk mencoba mengirim sebuah pesan singkat. Namun jemari sangat ingin menyentuh layar ponsel meski hanya sekadar sampaikan sapa. Kian hari dalam aplikasi berkirim pesan itu kita saling bertukar cerita, kita saling mengenal satu sama lain semakin dalam. Terlalu dalam sampai aku menemukan sebuah kekosongan dalam hatimu. Aku tak terpikirkan untuk menjadi pengisi kekosongan itu. Tapi hatiku mendesak bahwa kaulah kini yang hatiku eja sebagai satu-satunya rasa yang ada. Kaulah satu-satunya sosok yang aku puja sebagai bidadariku.

Semakin kita bercanda semakin kuat perasan ini mengalir. Tawamu adalah suara paling indah yang aku dengar. Senyummu adalah lukisan yang tak ternilai harganya. Setiap aku mendengar kau bercerita, aku seperti sedang menonton film kesukaanku. Meski kau bercerita tentang orang yang kau kagumi aku masih terlihat senang-senang saja mendengarnya meski hati lebih panas dari permukaan matahari. Aku tak tahu harus berbuat apa. Entah menyerah dan pergi merelakanmu atau tetap bertahan dan berpegang teguh pada perasaan tak berbalas ini.

Aku meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang tak terduga. Aku yakin bahwa hidup ini akan penuh dengan kejutan-kejutan yang tak mungkin ku sangka. Mungkin saja kita dipertemukan untuk tidak diizinkan bersatu sekarang, namun pada akhirnya akan menjadi teman hidup sampai akhir ayat kita nanti. Mungkin kita saling berlari ke arah yang berbeda. Namun sebenarnya kita tetaplah berada di tempat yang sama. Kita menatap langit yang sama dan kita berpijak pada tanah yang sama. Sejauh apapun kita berlari bila ke arah yang berbeda, kita pasti bertemu di titik yang sama nanti. Bisa sebagai orang yang sama dengan perasaan yang masih sama. Atau mungkin sebagai orang berbeda dengan perasaan berbeda pula.

Kita bagaikan dua batang magnet yang saling tarik menarik namun tidak dapat menempel satu dengan lainnya. Aku rasa semuanya hanyalah fatamorgana. Kau hanyalah kutub utara yang menyamar sebagai kutub selatan, sehingga kita tarik menarik namun tak bisa bersatu.

Meski cintaku berawal dari bercanda, namun cintaku tak sebercanda itu. Cinta ini juga butuh kepastian, agar aku tahu kapan harus berhenti melangkah dan berharap. Akankah kita terus bersama dalam pertemanan yang abadi, atau pertemanan sementara lalu berganti menjadi berteman sebagai pasangan sehidup semati. Aku ingin menjadi orang yang selalu kau banggakan ketika asik berbincang dengan para sahabatmu. Aku ingin menjadi sosok laki-laki yang kau kagumi setelah ayahmu tentunya. Aku ingin menjadi tempatmu berbagi cerita dikala senang, sedih, duka, haru atau apapun. Dan aku ingin menjadi rumah bagi perasaanmu setelah kau pergi jauh berkelana mencari apa arti cinta sebenarnya.

photo credit: MikadolaJunior May 21st, "On Saturday to Sunday Birthday Party" via photopin (license)

.dateHeader/>

Paragraf Perpisahan


Hidup ibarat sebuah paragraf yang harus bersifat kohesi dan koherensi. Kohesi adalah kesatuan yang merujuk pada kalimat-kalimat hanya mengandung satu ide pokok. Kita harus seperti itu, menjadi satu kesatuan dan hanya memiliki satu pasangan. Sedangkan koherensi menggambarkan bahwa untuk menjalin kesatuan diperlukan penanda hubungan diantara kalimat-kalimat yang ada di dalamnya. Seperti kita, butuh penanda hubungan agar dapat terbentuk kesatuan antara hatiku dengan hatimu. Namun apa, semua sudah terlambat kini dirimu sudah dibatasi oleh tembok jalinan asmara. Bukan bersamaku, tapi bersama pria itu. Diammu, jurang pemisah diantara kita, di mana tak ada lagi kita berjalan bersama, yang ada hanya kita sama-sama berjalan namun dengan orang yang berbeda dan berlainan arah.

Apakah penyesalan adalah kudapan yang harus aku santap saat menonton dirimu yang kini terlihat bahagia dengannya? Pengganti brondong jagung karamel yang terasa manis seperti saat kita masih saling melempar canda dulu. Namun kini hanya dusta yang kau persembahkan. Hanya pil pahit kenyataan yang aku telan bersama segelas air mata yang mengucur tak sengaja tadi malam. Turunnya tetes air mata bukan menandakan aku lemah, tapi hanya saja aku sangat terpukul ketika mengetahui jika kebahagianku kini menjadi kebahagiaan orang lain dan berubah hanya menjadi sakit hatiku kini.

Sedih memang rasanya harus merelakan apa yang selama ini aku dambakan, apa yang selama ini sangat aku inginkan. Miris, mengiris harapan yang telah terbangun hingga membuat air mata menetes dari sumbernya, ibarat mengupas bawang, perih tapi mau tak mau harus dilaksanakan.

Rumah singgah untuk aku menetap di hatimu yang telah aku bangun dengan usaha dan kesungguhan itu harus dibongkar secara paksa. Lantas sekarang di mana aku harus tinggal? Di mana hatiku ini harus menetap setelah ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya? Jika kau izinkan maka aku akan meminta untuk tetap tinggal di hatimu meski hanya dalam beranda hatimu. Tempat paling luar dan tempat bercengkramanya hatimu dengan hati si pria itu.

Angin, bawalah aku pergi, bawalah aku ke angkasa jika nanti aku terjatuh, maka aku akan jatuh bersama gemerlap bintang. Setidaknya aku jatuh dengan keindahan tidak hanya sekadar luka dan sakit hati yang kau berikan. Luka lama yang tak terobati kini telah terinfeksi. Terinfeksi oleh kelamnya masa lalu kita dan oleh segala kenangan yang telah kita bangun dulu.

Tapi, senyuman mu adalah antibiotikku. Kau lah vaksinku dalam hidupku. Karena pada dasarnya vaksin adalah virus yang sudah dilemahkan. Sepertimu, penyebab sakit hati yang masih terus diresap oleh hatiku sebagai obat dari segala rasa sakit ini. Jika terus terjadi, maka perasaanku akan mati perlahan, mati oleh luka yang selama ini telah kau gores. Dan mati akibat overdosis rasa cemburu dan penyesalan. Bahkan nanti orang barupun belum tentu bisa menyembuhkan luka ini seperti sedia kala disaat aku dan dirimu belum saling mengenal dan akhirnya mengenal kata “kita”.

Aku masih tidak menyangka kau harus meninggalkan perasaanku sendiri. Kau memang masih ada di dekatku. Selalu bahkan, namun tetap saja hatimu terasa jauh kini. Tidak ada hal yang seperti saat kita masih berdiri sendiri tanpa memiliki ikatan dengan orang lain yang kini masih aku rasakan. Sepertinya aku lupa sudah bagaimana rasanya dicintai. Mungkin kau tidak mencintaiku, tapi ketahuilah bahwa cintaku lebih besar dari apapun. Planet Jupiterpun akan tenggelam dalam besarnya cintaku. Hanya saja Maha kuasa Tuhan jau lebih besar daripada cintaku. Maka dari itu kita tidak dipersatukan sebagai sepasang kekasih hati, namun hanya sebatas teman tanpa mampu memiliki.