.dateHeader/>

Pergi Tidak Kembali


(credit: unsplash)

Di tepi rasa yang masih bertahan, di bawah teriknya penyesalan yang terus menyinari, aku tetap mencintaimu. Bukannya aku bodoh, tapi yang aku tahu tugasku hanyalah mencintaimu. Urusan kamu tetap mencintaiku atau tidak, itu terserahmu. Aku tidak ikut campur, kamu punya hak sendiri untuk menentukan siapa yang harusnya kamu cintai. Meskipun kini lenganku tidak bisa merangkulmu, tapi hatiku, sampai kapan pun akan terus merangkulmu.

Mungkin semua pertemuan akan menghasilkan perpisahan, dan semua perpisahan akan menghasilkan luka. Aku mengganggap luka bukanlah yang buruk, sebab luka adalah sebuah benih untuk kita memulai lembaran baru. Aku masih menyimpan bunga yang pernah kamu berikan kepadaku, dan bunga itu sudah mati, layaknya hubungan kita saat ini. Aku menyaksikanmu, bersama awan kelabu yang terus mengiringi perjalananmu. Aku melihatmu pergi, dan perlahan menghilang dari ujung tatapanku.

Hariku terasa berbeda, meski semuanya terlihat biasa saja, namun hatiku tidak bisa bersikap baik-baik saja. Daun-daun kebahagiaan berguguran diterpa angin kesedihan, ranting-ranting cinta terbakar teriknya kepergian. Sebelumnya, ketika ragamu masih ada di pelukanku, hari-hariku begitu penuh warna, namun, setelah kepergianmu hidupku hanya terlihat hitam dan putih. Mungkin aku terlalu egois, mencintaimu begitu dalam meski aku tak tahu seberapa dalam cintamu itu. 

Aku sudah membahagiakanmu dengan cara yang salah. Aku terlalu percaya diri, sehingga hanya membuatmu sakit hati. Aku kira, aku yang paling bisa, ternyata aku hanya orang yang tidak mengerti cinta. Aku kira, kita adalah jawaban dari semua doa-doaku, ternyata kita hanyalah pelajaran baru untuk hidupku. Aku rasa memang aku tak pantas untukmu, untuk seorang bidadari sepertimu. Kelak, akan ada yang benar-benar memahamimu, akan ada yang tahu cara membahagiakanmu, dan yang aku takutkan, itu bukan aku.

.dateHeader/>

Representasi Imajinasi


(Credit: unsplash)

Di bawah langit abu-abu yang tak bertuan, ada sebuah hati yang berjalan tak karuan. Seolah-olah sedang pergi dan mencari apa yang bisa ia sayangi. Entah hati siapa itu, yang aku tahu, hatiku sedang tidak ada pada tempatnya. Aku melihat jam terus berjalan maju, hari terus berganti, dan aku terus merindukanmu. Mungkin rindu ini adalah hal yang akan terus berpihak kepadaku. Menjadi sebuah oksigen dalam kehidupanku. 

Dalam sebuah perjalan panjang, ketika aku menemukanmu, aku merasa jika aku telah menemukan duniaku. Aku telah menemukan di mana aku akan tinggal selamanya. Namun nyatanya, aku hanya singgah sementara. Bukan sebab aku yang ingin pergi, tapi pemilik hati itu yang memintaku untuk kembali berlari. Aku cukup tenang saat lelap di pelukanmu. Aku cukup nyaman saat bersandar di pundakmu. Iya, semua itu cukup, tepatnya cukup singkat.

Setelah ini, kakiku tak tahu bagaimana harus berpijak di duniaku yang tidak bersamamu lagi? Bagaimana aku bisa bernafas jika separuh nafasku kini sudah bukan milikku lagi? Entahlah, yang aku tahu kini dalam diriku sudah mati. Terutama setelah sebuah kalimat perpisahan terakhir darimu yang masih aku ingat. Setalah aku mendengar itu, aku tahu jika Tuhan menyadarkanmu bahwa aku bukanlah pria yang tepat untukmu. Aku mungkin tidak baik, namun aku sudah berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Jika aku bisa menemuimu sekali lagi, maka izinknlah aku meminta maaf untuk kebodohanku selama ini. Maaf jika aku jatuh cinta kepadamu, dan maaf untuk membuat hatimu yang baru sembuh itu kecewa kembali.

Setelah ini, izinkan aku tetap menjadi pria seperti yang kamu kenal dulu. Aku masih orang yang sama jika kamu suatu saat nanti kembali menemui aku. Aku tidak pernah berubah, bahkan perasaanku tidak akan pernah berubah. Yang berubah hanya status kita, yang berubah hanya keadaan kita, dan yang berubah hanyalah sebutan kita satu sama lainnya. Sekali lagi, aku ingin berterimakasih pada semesta, sebab telah membuatku tersesat di sebuah hati dan aku tak pernah bisa keluar dari sana.

.dateHeader/>

Semua yang Dulu


(credit: unsplash)

Aku memiliki banyak cerita yang berlatarkan pantai, atau mungkin hampir semua cerita tentangmu dan kita adalah berlatar pantai. Matahari sudah menjadi teman dekat kita di sana, kita tidak pernah mengeluh jika matahari membuat kening kita dipenuhi bulir keringat. Sebab, yang kita suka adalah bagaimana pantai membuat kita sebegitu dekat. Banyak kenangan kita yang telah menyatu bersama pasir, terkikis ombak dan entah bagaimana akhirnya. Banyak orang juga menikmati panorama indah di depan kita, namun sebagiannya hanya datang untuk publikasi tanpa sedikitpun menikmati. Aku bingung, ketika dihadapkan dengan keindahan alam dan ciptaan Tuhan paling indah. Entah yang mana harus aku kagumi terlebih dulu, yang pasti aku lebih mencintai kamu.

Aku rindu saat kita duduk berdua, menatap ke arah senja, dan berbagi tentang apa yang kita rasa. Aku menyayangimu begitu dalam, sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi baik-baik saja ketika kamu meninggalkanku. Di tepi ingatan yang masih membekas, segala hal yang kita lakukan masih begitu membayang. Segala tangkapan gambar dalam galeri ponselku masih menetap, bukan perkara gambar yang ada di sana, namun seberapa dalam kenangan yang pernah tercipta di dalamnya. Bukan kenangan namanya jika tidak berhasil membuat rindu, meskipun sedikit, pasti akan terasa rindu. Terkadang, rindu tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Oleh sebab itu, banyak rindu yang tak bertuan, banyak rindu yang tak tahu ke mana harus menuju.

Aku masih begitu merindukanmu, apakah kita mungkin bisa bertemu? Atau waktumu sudah tidak sudi lagi untuk menemuiku? Entahlah, hanya itu yang aku tak tahu jawabannya. Semua waktu-waktu yang dulu telah terisi oleh kenangan kita, kini hanya dapat dinikmati sendiri. Sebelum kita menjadi benar-benar asing, ingatlah jika kita pernah terikat dalam sebuah kata sayang. Mungkin kamu tidak akan peduli lagi tentang apa yang pernah kita genggam, tidak masalah. Aku harap, aku punya mesin waktu, untuk memperbaiki apa yang menjadi salah di masa dulu.

.dateHeader/>

Senja dan Pesan yang Tersembunyi

(credit: unsplash.com)

Di tepi lautan cinta yang perlahan mengering
Ada seorang pria yang duduk menanti
Segala harap yang sama sekali tak pasti
Demi seseorang yang begitu ia cintai

Pasir-pasir terbang terbawa angin
Meninggalkan ia dalam kesendirian
Bolehkah dia bertanya?
Sampai kapan perasaannya harus bersedih?

Di balik jejak kerinduan yang membekas
Ada tawa yang begitu ia rindukan
Sebuah bahu yang membuatnya nyaman
Dan sebuah mata yang membuatnya tenggelam

Oh senja yang menuju gelap
Bolehkah kau menyampaikan rindunya?
Kepada perempuan yang benar ia cinta
Dan semua itu
Adalah sebuah pesan dari si pengecut ini

.dateHeader/>

Setelah Hari Ini


(credit: unsplash.com)

Pagi adalah bagian rindu yang baru dimulai, di mana hati sedang ingin mencari dan menanti, setelah beberapa saat terlelap dalam mimpi. Ada titik, di mana selamat pagi darimu adalah awalan untukku menjalani hari. Dengan nada bicaramu yang terngiang di pikiranku, bibirmu seolah-olah mengucapkannya tepat di telingaku. Dengan beberapa emoji yang berbentuk hati, benar-benar membuat pagiku menjadi lebih berarti. Namun, sekarang itu sudah pergi. Apakah masih ada semangat untuk menajalani hari? Mungkin. Tapi awalnya tidak. Saat kamu mulai beranjak, semua kebiasaan-kebiasaan kita mulai hilang bersamamu. Rasanya begitu susah, seperti kehilangan gairah. Namun, lama-lama aku terbiasa. Bukan, tepatnya terpaksa menjadi terbiasa.

Ada hal yang kukecewakan dari kepergianmu, yaitu caramu melepasku. Aku tak memaksamu untuk tetap tinggal di sini, tapi aku hanya tak mau kamu pergi. Aku benci fase setelah perpisahan, yaitu berusaha saling tak mengenal dan melupakan. Lucu memang, sebab awalnya kita hanya dua orang asing yang dipertemukan tak sengaja, namun kini, harus menjadi asing kembali oleh perpisahan yang disengaja. Aku sampai kapanpun, akan tetap menganggapmu sebagai teman, meski kamu tak menganggapku lagi, tak masalah. Itu hakmu untuk memutuskan. Kita sempat dipersatukan Tuhan, sebagai orang yang saling mencintai, sebagai dua orang yang saling berbagi. Kamu, aku anggap rumah tempat aku pulang ketika aku lelah menghadapi hari, ketika lelah sehabis berlari. Namun kini, aku hanya terus berlari, tanpa ada tempat nyaman untuk mengistirahatkan hati.

Jika aku boleh jujur, aku tetap merindukanmu, meski siang dan malammu bukan lagi milikku, aku tetap mengingatnya sebagai waktu yang pernah aku isi dulu. Yang pernah kita lalui bersama, meski akhirnya hanya menjadi sebuah angin lalu. Aku bingung, mengapa rindu ini tak berujung? Ke mana aku harus mengadu? Melihat wajahmu saja kini aku tak mampu. Aku takut memendam rindu lebih lama lagi, aku tak tahu sampai kapan hati ini bisa menahan segala bentuk rindu ini lagi. Wajahmu terlalu dekat untuk kulupakan dengan cepat. Bayangmu terlalu nyata untuk kulupakan saat ini juga. Entah berapa lama aku butuhkan untuk membuat hatiku tak meyakini kamu sebagai rasa yang masih aku puja. Aku tak tahu, semoga kamu berhasil melakukannya terlebih dahulu.

Malam yang terus berganti, terasa tak seperti biasanya saat ini. Tujuanku untuk tidur kali ini bukan untuk memimpikanmu, tapi untuk mempercepat hari agar aku bisa terbiasa tanpamu. Namamu, selalu aku sebut dalam doaku. Selalu sama seperti saat kita bersama dulu, atau bahkan, saat aku hanya memujamu sebelum kita menjadi satu. Nanti, tertawalah ketika kamu melihatku payah. Silakan bahagia, jika nanti kamu melihatku belum bisa baik-baik saja. Aku tak sekuat dirimu, yang bisa terliat baik-baik saja di depanku. Aku akui kamu hebat, bisa membuatku terus teringat, dan tak akan pernah lupa dengan segala hal indah yang pernah kita buat.