.dateHeader/>

Paragraf Perpisahan


Hidup ibarat sebuah paragraf yang harus bersifat kohesi dan koherensi. Kohesi adalah kesatuan yang merujuk pada kalimat-kalimat hanya mengandung satu ide pokok. Kita harus seperti itu, menjadi satu kesatuan dan hanya memiliki satu pasangan. Sedangkan koherensi menggambarkan bahwa untuk menjalin kesatuan diperlukan penanda hubungan diantara kalimat-kalimat yang ada di dalamnya. Seperti kita, butuh penanda hubungan agar dapat terbentuk kesatuan antara hatiku dengan hatimu. Namun apa, semua sudah terlambat kini dirimu sudah dibatasi oleh tembok jalinan asmara. Bukan bersamaku, tapi bersama pria itu. Diammu, jurang pemisah diantara kita, di mana tak ada lagi kita berjalan bersama, yang ada hanya kita sama-sama berjalan namun dengan orang yang berbeda dan berlainan arah.

Apakah penyesalan adalah kudapan yang harus aku santap saat menonton dirimu yang kini terlihat bahagia dengannya? Pengganti brondong jagung karamel yang terasa manis seperti saat kita masih saling melempar canda dulu. Namun kini hanya dusta yang kau persembahkan. Hanya pil pahit kenyataan yang aku telan bersama segelas air mata yang mengucur tak sengaja tadi malam. Turunnya tetes air mata bukan menandakan aku lemah, tapi hanya saja aku sangat terpukul ketika mengetahui jika kebahagianku kini menjadi kebahagiaan orang lain dan berubah hanya menjadi sakit hatiku kini.

Sedih memang rasanya harus merelakan apa yang selama ini aku dambakan, apa yang selama ini sangat aku inginkan. Miris, mengiris harapan yang telah terbangun hingga membuat air mata menetes dari sumbernya, ibarat mengupas bawang, perih tapi mau tak mau harus dilaksanakan.

Rumah singgah untuk aku menetap di hatimu yang telah aku bangun dengan usaha dan kesungguhan itu harus dibongkar secara paksa. Lantas sekarang di mana aku harus tinggal? Di mana hatiku ini harus menetap setelah ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya? Jika kau izinkan maka aku akan meminta untuk tetap tinggal di hatimu meski hanya dalam beranda hatimu. Tempat paling luar dan tempat bercengkramanya hatimu dengan hati si pria itu.

Angin, bawalah aku pergi, bawalah aku ke angkasa jika nanti aku terjatuh, maka aku akan jatuh bersama gemerlap bintang. Setidaknya aku jatuh dengan keindahan tidak hanya sekadar luka dan sakit hati yang kau berikan. Luka lama yang tak terobati kini telah terinfeksi. Terinfeksi oleh kelamnya masa lalu kita dan oleh segala kenangan yang telah kita bangun dulu.

Tapi, senyuman mu adalah antibiotikku. Kau lah vaksinku dalam hidupku. Karena pada dasarnya vaksin adalah virus yang sudah dilemahkan. Sepertimu, penyebab sakit hati yang masih terus diresap oleh hatiku sebagai obat dari segala rasa sakit ini. Jika terus terjadi, maka perasaanku akan mati perlahan, mati oleh luka yang selama ini telah kau gores. Dan mati akibat overdosis rasa cemburu dan penyesalan. Bahkan nanti orang barupun belum tentu bisa menyembuhkan luka ini seperti sedia kala disaat aku dan dirimu belum saling mengenal dan akhirnya mengenal kata “kita”.

Aku masih tidak menyangka kau harus meninggalkan perasaanku sendiri. Kau memang masih ada di dekatku. Selalu bahkan, namun tetap saja hatimu terasa jauh kini. Tidak ada hal yang seperti saat kita masih berdiri sendiri tanpa memiliki ikatan dengan orang lain yang kini masih aku rasakan. Sepertinya aku lupa sudah bagaimana rasanya dicintai. Mungkin kau tidak mencintaiku, tapi ketahuilah bahwa cintaku lebih besar dari apapun. Planet Jupiterpun akan tenggelam dalam besarnya cintaku. Hanya saja Maha kuasa Tuhan jau lebih besar daripada cintaku. Maka dari itu kita tidak dipersatukan sebagai sepasang kekasih hati, namun hanya sebatas teman tanpa mampu memiliki.

0 comments:

Post a Comment