.dateHeader/>

Hubungan Sebab Akibat

 
 
 
Setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan, karena pertemuan adalah perpisahan yang sudah ditakdirkan. Ketika kita sudah terlanjur bertemu dan saling mengenal, maka bersiaplah dengan kata perpisahan. Jika sudah berani memberi, maka harus siap menerima. Seperti aku, berani memberi cinta dan siap menerima sakit hati yang telah terus kau berikan kini. Sakit hati terberat bukan saat kau meninggalkanku, tapi saat kita harus berpisah tanpa sempat mencicipi indahnya hidup bersama sebagai sepasang kekasih.

Yang aku tahu bahwa apa yang kita beri maka itulah yang akan kita dapat. Namun mengapa itu tidak terjadi padaku? Karena segala yang ku beri adalah cinta tapi yang aku dapat hanyalah patah hati dan penyesalan. Bukan menyesal karena telah memulai mencintaimu, namun aku menyesal tidak berani menyatakannya kepadamu. Kini semua telah terlambat. Yang bisa aku lakukan hanyalah duduk dan menyaksikanmu dengan orang yang seharusnya bisa saja itu diriku.

Lidahku kelu saat tahu dirimu kini bersama pria itu, seseorang yang kau kenal tidak lebih lama dariku. Telingaku tersumbat, saat salah seorang teman berteriak menyorakkan nama pria itu. Marah memang, namun hanya dalam hening. Sedih memang, namun hanya dalam sakit. Apa gunanya menunjukkan amarahku jika kau saja tak menghiraukanku. Aku ibarat seonggok sampah di sudut jalanan ibukota. Tak berdaya dan terombang-ambing mengikuti arah mata angin. Hanya dibuang sembarangan tanpa perasaan.

Mataku kehilangan sosok yang paling menawan. Mataku Indra penglihat ini tak ada gunanya lagi, karena bukan wajahmu lagi yang kini aku lihat. Apa gunanya mataku lagi jika yang kulihat hanya tanganmu yang digenggam erat oleh pria itu? Apa gunanya mataku jika hanya dipergunakan untuk melihat kebahagianmu bersama pria itu? Apagunanya lagi mata ini di dunia jika yang aku lihat hanyalah kecemburuan. Bukannya aku tak bahagia melihat kau bahagia, hanya saja aku tak senaif itu. Hatiku kini ibarat gelas kaca yang sedang mencium permukaan tanah.

Remuk dan pecah.

Apa mungkin bisa kembali ke bentuk semula?

Ataukah serpihan hati ini akan terbang bersama partikel debu di udara. Menyatu dengan oksigen yang kita hirup. Separuh hatiku kini dalam tubuhmu. Sementara memang, karena tak lama kau akan hembuskan residu hatiku bersama kebahagiaan yang dulu pernah kita ciptakan bersama. Hembusan napas mu terasa hangat saat pertama kali kita bertukar obrolan, tapi kini napasmu pun sama sekali tak bisa aku dengar dan rasakan. Dingin, seperti berada di puncak gunung Himalaya. Itulah sifatmu. Beku, seperti air yang berada pada suhu nol derajat celcius. itulah hatimu tak bisa dicairkan, apakah harus dibakar api cemburu terlebih dahulu?

Oh iya aku lupa.

Cemburu? Untuk apa kau cemburu, perasaanmu memang bukan untukku. Inginmu memang bukanlah aku. Akulah yang selalu terbakar panasnya api cemburu. Apa inikah efek rumah kaca? Bukan, ini efek hati yang pecah dan membuat berkaca-kaca. Pemanasan global hanya istilah umum dalam era kini, namun bukan hanya bumi yang kian memanas, tapi perasaanku juga. Entah harus tetap mencintaimu dalam diam dan berharap dalam hening atau mencoba melepaskan diri dari belenggu fatamorgana cinta ini. Otakku terlalu lelah untuk berpikir lagi, karena otakku sudah penuh dengan bayangan wajahmu. Jangan paksa aku melupakanmu, otakku kini terlalu jenuh.

0 comments:

Post a Comment